Minggu, 02 Agustus 2009

Humility

O Jesus! meek and humble of heart, Hear me.
From the desire of being esteemed,
Deliver me, Jesus.

From the desire of being loved…
From the desire of being extolled …
From the desire of being honored …
From the desire of being praised …
From the desire of being preferred to others…
From the desire of being consulted …
From the desire of being approved …
From the fear of being humiliated …
From the fear of being despised…
From the fear of suffering rebukes …
From the fear of being calumniated …
From the fear of being forgotten …
From the fear of being ridiculed …
From the fear of being wronged …
From the fear of being suspected …

That others may be loved more than I,
Jesus, grant me the grace to desire it.

That others may be esteemed more than I …
That, in the opinion of the world,
others may increase and I may decrease …
That others may be chosen and I set aside …
That others may be praised and I unnoticed …
That others may be preferred to me in everything…
That others may become holier than I, provided that I may become as holy as I should…

(Rafael Cardinal Merry del Val)

Kerendahan hati bukanlah hanya sekedar menjadi tidak sombong. Kerendahan hati ialah menyadari siapa sebenarnya kita manusia, yang eksistensinya tidak jauh berbeda dari embun yang pagi ini ada namun sejenak telah menguap tiada.



Minggu, 14 Juni 2009

The Living and The Dead

Kini saya menyadari bahwa mereka yang mati sebenarnya tetap berhubungan dengan yang hidup. Tentu saja, bukan dengan cara gaib atau mistis seperti yang sering kita bayangkan.

Selama hampir setahun Ayah saya meninggal, banyak hal telah terjadi di dalam saya dan keluarga saya. Mulai dari hal kecil seperti servis mobil, rencana menjual rumah, wisuda saya yang terancam tertunda karena skripsi tidak selesai, dan begitu banyak hal baru lainnya. Namun saya tetap tidak dapat melupakan almarhum Ayah saya. Bukan berarti selama ini saya berusaha melupakannya, tapi ia yang tetap muncul dalam kehidupan saya. Sekali lagi, bukan lewat cara gaib atau mistis.

Minggu lalu, ibu saya ditelpon oleh seorang bapak yang dahulu adalah teman Ayah saya. Dengan gembira ia menceritakan bagaimana akhirnya ia memenangkan sebuah kasus perdata di pengadilan dengan bantuan seorang pengacara. Masalah tanah dan hal semacam itu.

Lalu untuk apa ia menelpon ibu saya?

Ternyata sebelum Ayah saya meninggal, Ayah saya pernah meminta bapak tersebut untuk menghubungi kami bila kasusnya di pengadilan mendapat kemenangan. Ayah saya hendak menyewa pengacara tersebut untuk kasus yang sama yang ternyata sedang dihadapi nenek saya.

Kejadian seperti ini bukan yang pertama kali. Selepas meninggalnya Ayah saya, banyak kejadian-kejadian kecil yang membuat saya terharu dan kembali terkenang kepadanya, karena ia, meskipun secara fisik tidak lagi bersama kami, masih terus memberikan pertolongan dan semangat lewat cara yang tidak kami duga. Boleh dikatakan, itu semua adalah buah dari segala sesuatu yang sudah disiapkannya sejak dulu.

Kisah ini mengingatkan saya kepada film P.S. I Love You. Ide kisahnya sama, sangat sederhana. Bahwa meskpun telah tiada, mereka yang pergi masih memengaruhi kehidupan kita yang ditinggalkan. Kita masih merasakan kehangatan dan semangat mereka, yang akhirnya membantu kita untuk melangkah maju. 

Dan pada akhirnya, hanya ketika kita merasakannya sajalah kita bisa percaya, bahwa masih ada hubungan antara yang hidup dan yang mati. The living and the dead. 

Kamis, 07 Mei 2009

The Worst Feeling

"There is nothing worse that the feeling that no one cares whether we exist or not, that no one is interested in what we have to say about life, and that the world can continue turning without our awkward presence."

-Paulo Coelho-


Begitulah cara Coelho menggambarkan betapa sakitnya kesendirian. Menurutnya, meskipun manusia selalu mengumandangkan keinginan akan kebebasan, sesungguhnya yang mereka inginkan adalah komitmen. Keterikatan dengan manusia lain. Janji untuk hidup bersama.


Lebih baik memakan separuh roti berdua daripada satu roti sendirian. Begitu katanya.


Lalu, benarkah ketika kesendirian itu melanda, perasaan tidak berguna adalah perasaan terburuk yang dapat dirasakan seorang manusia? Saya rasa tidak.


Hari ini saya belajar, ada satu perasaan yang bahkan jauh lebih buruk dari itu...


Perasaan ditolak. The feeling that no one wants you, that leaving seems a better choice for you, and that you're just the biggest mistake humanity has ever had.


Kalimat yang tragis dan terdengar berlebihan. Tapi pada kenyataannya, kita seringkali membuat orang di sekitar kita merasakan hal ini. Lewat perkataan kita atau bahkan perbuatan yang tidak disengaja. Kita tidak berbeda dari makhluk buas yang selalu menyakiti sesamanya. Dan suka atau tidak, makhluk buas itu bernama manusia.

Homo homini lupus. Mungkin itulah kalimat yang paling pantas menggambarkan manusia. Kita yang takut untuk merasakan perasaan terburuk itu justru menyerang sesama kita, membuat mereka merasakannya sebelum kita.

Pernahkah kita bertanya? Pernahkah kita memikirkannya? Semoga semua makhluk berbahagia...

Sabtu, 25 April 2009

Sepeda Tua

Saya mendapatkan sepeda pertama saya ketika saya masih kecil, bahkan sangat kecil, sampai-sampai bersekolah saja belum. Saat itu, sepeda yang saya miliki adalah sepeda kecil beroda tiga yang berwarna ungu, dengan hiasan kepala beruang di depannya.

Tidak banyak yang saya ingat tentang sepeda itu, termasuk di mana keberadaannya terakhir. Namun saya masih ingat bahwa sejak saya memiliki sepeda itu, saya punya jadwal baru. Hampir setiap hari, tepatnya sore hari sekitar pukul lima, setelah saya mandi, saya akan memaksa pembantu saya untuk mengantarkan saya naik sepeda di dekat rumah. Dia berjalan kaki, saya mengayuh.

Sepeda itu sangat menyenangkan, karena semenjak saya memilikinya saya bisa berpetualang lebih jauh. Melihat blok sebelah, mengunjungi taman di ujung kompleks, bertemu teman baru, dan berbagai pengalaman seru lainnya.

Sampai akhirnya, entah kapan dan mengapa, saya tidak lagi menaiki sepeda itu.

Kini, saya sudah berusia lebih dari dua puluh tahun. Sudah lebih dari sepuluh tahun saya tidak melihat sepeda itu. Entah di mana ia berada. Namun, mengingat kembali kenangan saya bersama sepeda itu, saya belajar sesuatu yang baru.

Selama kita hidup, kita terus bertumbuh. Ke atas, ke samping, ke bawah, ke depan, atau ke mana saja. Yang jelas, kita terus berubah. Cita-cita berganti, impian bergeser. Bahkan terkadang, hal-hal yang prinsip pun akhirnya berhasil direnovasi oleh sang waktu.

Sadar atau tidak, banyak sekali nilai-nilai masa kecil kita yang kini telah berubah. Namun, kita tidak pernah terusik bukan? Karena nilai-nilai yang kita anut sekarang adalah bentukan masa, yang kita dapatkan lewat sejuta momen kehidupan kita. Menyesalinya berarti menyesali hidup yang kita punya.

Saat ini, saya tidak punya sepeda. Saya juga tidak lagi tertarik naik sepeda. Saya punya mobil, dan saya bisa berjalan kaki atau naik bus jika mobil saya mogok. Jelas, sepeda bukan lagi kebutuhan saya.

Pengalaman belasan tahun telah mengubah nilai dan cara pandang saya terhadap sepeda. Dan itu sangat normal.

Beberapa waktu lalu, saya diminta oleh sebuah perkumpulan mahasiswa untuk membagikan kisah pengalaman saya di perkumpulan tersebut. Saya sudah bergabung selama hampir 4 tahun, dan banyak hal telah saya lakukan di sana. Namun kini, fungsi saya tidak lebih dari sekedar memberi masukan untuk kegiatan-kegiatan yang berlangsung di perkumpulan tersebut, tanpa ikut ambil bagian secara langsung di dalam kegiatan-kegiatannya.

Saya sempat bertanya kepada diri saya, ke mana motivasi yang dulu saya miliki? Apakah saya terlalu lelah? Atau bosan?

Jawabannya, tidak. Bukan itu yang membuat saya tidak aktif. Ini semua mengenai nilai yang saya pegang.

Dulu, perkumpulan itu menjadi prioritas saya, sepeda saya yang memperkenalkan saya pada dunia baru. Teman-teman baru, tempat baru, suasana baru. Namun kini, hidup saya butuh lebih dari sekedar itu. Saya butuh bergerak lebih cepat, dengan prioritas-prioritas yang juga sangat berbeda.

Lalu, salahkah saya karena sepeda itu kini saya tinggalkan begitu saja? Habis manis sepah dibuang?

Saya rasa tidak.

Empat tahun setelah saya lahir, adik pertama saya lahir. Sewaktu bayi, ia tidur di ranjang bayi yang dulu adalah kepunyaan saya. Ia tumbuh dengan baju-baju bayi peninggalan saya. Ia makan dari peralatan makan bayi saya. Sampai akhirnya, ketika ia lebih besar, ialah yang mewarisi sepeda saya.

Sepeda tua itu mungkin tidak lagi berarti apa-apa bagi saya. Namun sepeda tua saya adalah sepeda baru bagi orang lain, sepeda yang disambut dengan euforia yang sama, dan siap mengantarkan orang itu kepada hal-hal baru.

Di akhir pertemuan saya dengan anggota-anggota perkumpulan itu, saya berpesan pada mereka untuk menggunakan setiap kesempatan sebaik-baiknya.

"Manfaatkanlah sepeda tua ini untuk membawamu ke tempat-tempat yang kau inginkan."

Mengapa kita berjumpa bila akhirnya dipisahkan?

"I'd rather die tomorrow than to live a hundred years without knowing you"
-John Smith, Pocahontas-

Melepas lelah setelah ujian, kemarin malam saya menyempatkan diri menonton sebuah film animasi yang baru saya beli di mal. Film ini bukan film baru, tapi saya memang belum pernah menontonnya. Pocahontas. Pasti sudah tidak asing lagi.

Film ini adalah film Disney yang masih berkisah tentang cinta, namun memiliki alur dan kisah yang agak berbeda dari film-film roman Disney lainnya. Uniknya, dibandingkan dengan film-film Disney terdahulu, film ini boleh dibilang tidak terlalu laku. Bahkan, di dalam deretan Disney Princess pun, Pocahontas tidak masuk hitungan. Padahal, Mulan yang bukan putri saja bisa berpose centil bersama Jasmine, Cinderella, Aurora, Ariel, Belle, dan Snow White. Memangnya, ada apa dengan Pocahontas?

Pocahontas pada dasarnya menceritakan cinta yang berasal dari dua dunia berbeda. Mirip dengan kisah Ariel, namun Pocahontas tidak seberuntung Ariel. Karena John Smith mengalami luka parah dan harus kembali ke Inggris, Pocahontas harus berpisah dengan cintanya karena ia telah memilih untuk tinggal bersama rakyatnya.

Film ini adalah film yang sangat berkesan bagi saya. Karena pada kenyataannya, cinta memang tidak selalu berakhir bahagia.

Saya pun teringat dengan lirik lagu yang kalau tidak salah berbunyi, "Mengapa kita berjumpa bila akhirnya dipisahkan? Mengapa kita bertemu bila akhirnya dijauhkan?" Terusik dengan lirik lagu Yovie and the Nuno tersebut, seorang teman saya lantas bertanya kepada saya, kira-kira apa jawabannya.

Saya pun menjawab, "Saya tidak tahu, karena saya tidak punya jawabannya. Jawabannya ada di antara pertemuan dan perpisahan itu." Sebuah pertemuan tidak pernah sia-sia. Bahkan ketika kita harus berpisah, waktu-waktu yang telah dilewatkan bersama akan berdampak bagi hidup kita selanjutnya. Yang pasti, kita harus mensyukurinya.

Dalam film Pocahontas, diperlihatkan bagaimana John Smith akhirnya bisa mengerti bahwa alam pun hidup, setelah ia bertemu dengan Pocahontas. Pesona wanita Indian itu telah mengajarkan dia sesuatu yang akan ia kenang selamanya. Sesuatu yang begitu berharga. Karena itulah, perpisahan yang ia alami dianggapnya sesuatu yang indah dan tidak akan terlupakan.

"If I never knew you, if i never felt this love,... I'll be lost forever... if I never knew you"

Kamis, 02 April 2009

Still on the same topic...

"Take away all my sadness, fill my life with gladness... Ease my troubles, that's what you do."

Terkadang saya membayangkan, akan sebahagia apa saya bila nanti saya diizinkan Tuhan menemukan seseorang yang akan menjadi teman jiwa saya. Seseorang yang mengambil segala kesedihan dari hidup saya, mengisi lubang itu dengan kebahagiaan, dan menghapuskan semua masalah...

Namun saya tahu saya tidak boleh mencarinya.

"Love is not self-seeking..."

Ketika kita berusaha mencari pasangan hidup kita, seringkali kita terkaburkan. Kita tidak benar-benar sedang mencari seseorang untuk kita cintai, untuk berbagi hidup, dan menghabiskan waktu bersama. Kita sebaliknya sedang mencari kepuasan ketika kebutuhan kita akan seseorang itu terpuaskan. Tujuan kita bukan lagi kebahagiaannya, melainkan kebahagiaan kita. Kita lupa bahwa kebahagiaan kita, sejatinya terletak di dalam kebahagiaannya. Itulah cinta.

Karena itu, hingga kini, saya terus belajar mengejar tujuan yang benar. Tidak lagi menginginkan seseorang untuk menjadi pendamping saya, tapi selalu menjadikan Tuhan sebagai tujuan hidup yang terutama. Apabila suatu saat saya menemukan pendamping hidup, saya pun tahu bahwa ia ada sebagai pemberian Tuhan bagi saya, dan cintalah yang menghantarkannya.

Jumat, 20 Maret 2009

Kini Aku Sendiri

Setiap manusia datang ke dunia sendirian. Dan setiap manusia juga akan pergi dalam kesendirian. Di antara keduanya, hampir setiap manusia memiliki momen untuk menikmati apa yang disebut dengan 'kebersamaan'.

'Kebersamaan' sejatinya adalah hadiah yang memperkaya manusia, yang membuatnya berbeda, saat ia mati daripada ketika ia lahir. Kebersamaan membentuk manusia menjadi apa dia nanti, ketika tiba saat ia pergi.

Sesaat setelah manusia lahir, ibu menjadi orang yang bersama dengan kita. Kemudian, kita mengenal ayah. Lalu, kakak dan adik. Lalu, keluarga besar. Tetangga. Teman-teman sekitar rumah. Ibu guru. Teman sekelas. Sahabat baik. Pacar pertama. Pacar kedua. Sahabat baru. Istri pertama dan terakhir. Anak pertama. Menantu. Cucu. Sampai akhirnya kita kembali sendirian.

Catatlah siapa saja orang-orang yang dulu pernah bersama dengan kita, dan apakah mereka masih bersama kita sekarang.

Kita akan melihat, bahwa manusia datang dan pergi. Mereka yang dulu menjadi sandaran hati kita, kini sudah entah di mana. Sedih memang, mengenang masa-masa yang indah yang kini telah berlalu.

Namun itulah kenyataannya. Kita sering tidak bisa mengerti mengapa kita harus dipertemukan bila akhirnya kita berpisah, bila hanya untuk mengecap kebersamaan yang sementara. Kita lupa bahwa setiap 'kebersamaan' hanyalah hadiah yang cuma bisa kita ambil kalau diberi, dan bukan kita rampas untuk miliki. Kita lupa bahwa 'kebersamaan' akan pergi bila misinya telah usai. Kita lupa bahwa setiap 'kebersamaan; selalu meninggalkan sesuatu ketika ia mampir di hidup kita. Kita lupa bahwa jawaban yang selalu kita cari ternyata ada di dalamnya.

Kini, kita hanya harus melihat, seperti apa kita sekarang.

Kini, kita hanya harus bersyukur, atas apa yang telah 'kebersamaan' berikan.

Tidak ada yang perlu disesali. Tidak ada yang perlu ditangisi.

Rabu, 25 Februari 2009

"Sometimes, at certain times, feelings need to be expressed in words."

Jumat, 20 Februari 2009

The Wonderful Psalm of David

Tuhan adalah gembalaku, takkan kekurangan aku.

Ia membaringkan aku di padang yang berumput hijau, Ia membimbing aku ke air yang tenang; Ia menyegarkan jiwaku.

Ia menuntun aku di jalan yang benar oleh karena nama-Nya.

Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku; gada-Mu dan tongkat-Mu, itulah yang menghibur aku.

Engkau menyediakan hidangan bagiku, di hadapan lawanku; Engkau mengurapi kepalaku dengan minyak; pialaku penuh melimpah.

Kebajikan kan kemurahan belaka akan mengikuti aku, seumur hidupku; dan aku akan diam dalam rumah Tuhan sepanjang masa.

Demikianlah Mazmur 23, sebuah pasal yang dimuat di dalam Alkitab, yang diyakini ditulis sendiri oleh Raja Daud. Sebuah pasal yang sangat familiar sekaligus asing, karena sangat diingat namun belum tentu dimengerti.

Mazmur 23 adalah refleksi kehidupan seorang raja besar, yang berlatar belakang sebagai seorang gembala. Setelah semua yang ia lalui di dalam kehidupannya, ia menyanyikan pengalamannya dengan Tuhan, yang ia gambarkan sebagai gembala. Menarik, karena ternyata, dari lagu sederhana ini, sang raja mengajarkan kita tentang makna berkat di dalam kehidupan.

Besok, keluarga saya berencana memperingati 100 hari kematian Ayah.

100 hari bagi beberapa orang mungkin menjadi sebuah simbol atau kepercayaan yang berkaitan dengan arwah orang-orang mati. Namun bagi saya, 100 hari kembali mengingatkan berapa lama waktu yang telah mampu saya lewatkan tanpa adanya seorang ayah, yang menjadi tumpuan hidup keluarga saya. Dalam kalimat lain, 100 hari adalah banyaknya penyertaan Tuhan bagi saya di masa-masa terberat dalam hidup saya.

Dalam 100 hari tersebut, saya benar-benar diuji. Keluarga dan kerabat bolak-balik datang dan menelepon rumah saya, kerap kali menyatakan penyesalan atas kematian Ayah. Sanak saudara terus tidak bisa menerima kepergian Ayah yang sangat mendadak, dan mulai menganggap bahwa peristiwa ini seperti sebuah bencana tragis di mana Tuhan telah gagal mendatangkan mujizat-Nya. Teman-teman menyatakan rasa simpati, yang seringkali lebih mirip rasa kasihan dan iba atas kemalangan hidup saya.

Saat itulah saya kembali teringat akan Mazmur 23.

Orang-orang seringkali menganggap bahwa berkat dalam kehidupan adalah kekayaan, kesehatan, kekuatan, kepandaian, keberhasilan, dan sejuta hal baik lainnya yang bisa Anda tambahkan sendiri. Mereka terus mencari dan berdoa, untuk kesembuhan orang yang dicintainya, untuk keberhasilan studi anaknya, untuk kemajuan usaha dan bisnisnya, ataupun untuk keselamatan diri mereka sendiri. Semua itu memang tidak salah, namun tanpa sadar, mereka telah mengaburkan, bahkan menginjak-injak makna berkat yang sesungguhnya. Mereka mengurung Tuhan dan kuasa-Nya dalam ruang sempit di dalam kotak pemahaman mereka sendiri. 

Raja Daud juga mengetahui hal tersebut dan memahaminya dengan jelas. Ia telah melihat banyak hal selama masa kehidupannya, yang kemudian ia tuliskan agar dapat membuka mata kita semua.

Masa-masa indah di mana ia merasa berada di padang yang hijau, masa-masa damai di mana ia boleh menikmati air yang tenang, bahkan masa-masa menakutkan di lembah kekelaman. Berbagai pengalaman kehidupannya telah membawa dia kepada sebuah kesimpulan yang menjadi akhir dari  Mazmur 23: "Kebajikan kan kemurahan belaka akan mengikuti aku, seumur hidupku". 

Betapa kita tidak menyadarinya! Berkat Tuhan, yang adalah kebajikan dan kemurahan itu, sesungguhnya mengikuti kita seumur hidup kita. Ketika kita telah memutuskan untuk mengikuti-Nya dan berserah kepada-Nya, setiap langkah hidup kita sesungguhnya menjadi berkat yang tidak kita sadari.

Padang hijau, air tenang, lembah kekelaman, semuanya hanya bungkus yang berbeda dari hadiah yang sama. Hadiah yang sejati itu tak lain adalah pengalaman kita dengan Tuhan di dalam setiap keadaan. Lindungan-Nya di padang, belaian-Nya di air tenang, dan tongkat-Nya di masa-masa kelam kehidupan kita, itulah yang sepantasnya menjadi apa yang kita cari.

Kini, saya tidak lagi berdoa untuk kekayaan, kepintaran, ataupun kesuksesan. Saya hanya meminta penyertaan-Nya dalam setiap langkah hidup saya, agar saya boleh melihat kemuliaan-Nya dan terus melekat kepada-Nya.

Terima kasih untuk Ayah yang dalam hidup juga matinya telah mengajarkan saya banyak sekali keindahan

Cinta setelah 14 Februari Tahun Ini

Tahun ini, tepat tanggal 14 Februari, saya kembali menemukan makna cinta. Rasanya seperti membuka kembali lemari tempat saya menyimpan semua benda kenangan. Begitu haru, begitu rindu, seperti bertemu kembali sahabat lama yang dulu pergi jauh. Dan kali ini, ia tidak lagi akan pergi.

Makna itu kini hadir sebagai sosok yang lebih matang. Makna yang hadir bukan lagi karena pemahaman intelektual ataupun prestasi kognitif, namun lewat bertahun-tahun pengalaman kehidupan dan perenungan batin.

Cinta yang dulu saya cari semata-mata sebagai ikatan relasi antara dua pasangan, tiba-tiba datang menyeruak ke dalam serambi kehidupan saya dalam bentuk yang berbeda. Hampir saja saya tidak mengenalinya, namun kehangatannya berhasil membuka mata saya. 

Beberapa tahun yang lalu, ketika saya mengawali masa perkuliahan saya, saya membawa sebuah pemahaman: cinta akan mempertemukan saya dengan orang yang tepat pada saat yang tepat. Pemahaman yang terdengar dewasa namun tidak sempurna. Pemahaman yang bukan dari hati, namun hanya merupakan cara untuk menjauhkan diri dari hubungan yang tidak serius.

Akhirnya, waktu menghanguskannya. Pemahaman itu terbakar habis seiring bertambahnya usia. Seiring bertambahnya kerabat yang menikah. Seiring makin seringnya kabar yang terdengar mengenai si anu yang kini bersama si anu. Saya tidak pernah menyadari bahwa rasa iri dan ingin memiliki telah bertransformasi dan mengambil rupa sebuah ambisi untuk menemukan cinta secepatnya. Ambisi tersebut seolah mengaburkan mata hati, yang kini tidak lagi percaya pada kuasa cinta.

Hingga akhirnya, kehadiran seorang sahabat telah mendobrak pintu ruang pemahaman saya yang begitu sempit, membawa saya ke dalam perenungan pribadi, dan dalam kesendirian kembali mengumpulkan keping-keping kehidupan untuk menatanya sekali lagi. Dan inilah yang saya dapat.

Tahun ini, tepat tanggal 14 Februari, saya kembali menemukan makna cinta. Makna yang tidak bisa dijelaskan dengan kata, namun hanya bisa direngkuh dengan menghidupi dan menghayati cinta dengan sepenuhnya.

Cinta ternyata bukan hanya rantai pengikat dua manusia, tapi bahasa universal yang menjadi denyut semua makhluk. Cinta tidak perlu dicari, sebab ia tidak pergi ke mana-mana. Dan ketika kita merasa kita telah menemukannya, cinta telah lama ada di sana. Ia telah lama menemukan kita, dan kini ia menyentuh kita.

Pemahaman itu kini telah mengubah arah hidup saya. Tujuan saya kini tidak lagi menemukan cinta ataupun pasangan hidup, melainkan berbagi kehidupan dan setiap perjalanan bersama cinta. 

Dipersembahkan untuk dia, yang telah memperbaharui makna dan menghidupkan kembali cinta