Senin, 25 Juli 2011

Merenung

Saat aku berjalan di malam hari, aku memandang ke atas ke langit malam yang luas. Aku melihat bintang-bintang terdiam di sela gelap yang tak bergeming, dan aku terbius oleh nafas angin yang lalu membelai wajahku. Aku teringat pada-Mu. Aku tersengat oleh hangat cinta-Mu yang dulu buatku tersipu.

Dan aku berpikir.

Sekian lama aku tak menyapa-Mu.

Saat aku berjalan di malam hari, aku memandang ke atas ke langit malam yang luas. Dan aku terus bertanya.

Kau yang berada di atas sana, Kau yang selalu terjaga, apakah yang Kau lihat ketika Kau memandang ke bawah? Ketika Kau mengarahkan wajah-Mu padaku, apakah yang Kau lihat?

Aku yang selalu menjadi inginku, yang selalu meminta dari-Mu? Aku yang selalu memuja kehidupanku, dan tunduk hanya pada lelahku?

Aku tak membenci, aku selalu berbagi. Aku menangis saat kaum-Mu menangis, aku teriakkan suara mereka. Aku perah seluruh upayaku seiring detak untuk mereka. Tapi apakah yang Kau lihat?

Aku yang percaya tak ada yang tak bisa kuraih? Aku yang penuh kelimpahan? Aku yang Kau beri bahagia? Aku yang bangga? Aku yang angkuh?

Aku yang sepi? Aku yang rindu? Aku yang sengsara? Aku yang buta?

Aku yang tak lagi menyapa-Mu?

Apakah yang Kau lihat?

Apakah yang aku ingin Kau lihat?

Aku mau menjadi pahlawan-Mu. Aku mau menjadi ingin-Mu. Dan meski Kau tetap mencintaiku, Aku tak mau yang Kau tak mau. Aku mau jadi kebanggaan-Mu.

Maka katakanlah kepadaku.

Katakanlah kepadaku dan biarkan aku mau.

Aku (tidak) bangga menjadi anak Indonesia!

Ketika orang bertanya "Apakah kamu bangga menjadi anak Indonesia?", biasanya saya akan tersenyum manis dan menambahkan kalimat pendek, "Bangga, dong" Namun sesungguhnya, orang-orang tidak menyadari bahwa jawaban itu tidak berasal dari hati. Jawaban itu hanya usaha semata untuk menghentikan percakapan dan menghindarkan diri dari perdebatan yang tidak perlu.

Saya punya satu kabar baik dan satu kabar buruk. Karena saya suka akhir yang bahagia, maka saya akan menyampaikan kabar buruk terlebih dahulu.

Saya tidak bangga menjadi anak Indonesia. Saya tidak bangga pada Indonesia. Mengapa kita harus bangga ketika masih ada anak mati karena kurang gizi sementara pejabatnya makan enak setiap hari? Mengapa kita harus bangga ketika jutaan keluarga miskin tak punya tempat tinggal layak sementara wakil rakyat sibuk membangun gedung megah? Mengapa kita harus bangga ketika anak-anak sekolah kita mulai mengenal rokok sementara para pemimpin yang tak peduli menjual bangsa mereka sendiri?

Bagi saya, menanamkan rasa bangga terhadap bangsa ini dalam diri anak-anak kita adalah suatu kebodohan. Mungkin kita berpikir bahwa seperti halnya membiarkan anak kita dimanja dongeng dan imajinasi, baik pula membiarkan mereka hidup dalam ilusi. Jangan bingung bila bangsa ini sulit untuk maju karena terbuai oleh kepuasan semu. Jangan kaget ketika melihat anak-anak kita mulai berpikir bahwa idealisme adalah suatu kekonyolan. Padahal sesungguhnya, ikut berenang dalam arus realitas kebobrokanlah yang membuat kita jadi ikan mati. Ikan mati di bangsa yang mati.

Seharusnya kita tanamkan rasa malu. Malu karena kekayaan alam yang berlimpah peninggalan nenek moyang habis dimanfaatkan bangsa lain. Malu karena bangsa yang pernah berjaya dulu kini hidup sengsara. Malu karena budaya dianggap kuno dan tidak lagi relevan.

Dari sanalah akan muncul rasa geram. Geram melihat pemerintah yang tidak membela kepentingan rakyatnya. Geram melihat harga diri kita diinjak-injak oleh harta. Geram melihat rendahnya moral para penguasa.

Yang kita mau dari anak-anak kita adalah rasa cinta. Cinta sejati yang muncul karena rasa memiliki. Cinta sejati yang mengalir dalam air mata ketika melihat bangsa sendiri dibodohi. Cinta sejati yang mendorong mereka keluar dari zona kenyamanan mereka dan merengkuh sesamanya yang tertindas.

Sekarang, saatnya saya menyampaikan kabar baiknya. Meskipun saya tidak bangga, saya masih cinta pada bangsa dan negara ini. Dan saya yakin bahwa cinta kitalah yang bisa mengubah bangsa ini. Kitalah yang bisa berusaha, agar anak-anak kita bisa berkata pada anak-anaknya; "Berbanggalah jadi anak Indonesia!"


23 Juli 2011
Memperingati Hari Anak Nasional
"Aku (mau membuat kalian) bangga menjadi anak Indonesia!"

Kamis, 23 September 2010

Sentuh Hatiku

Saat saya sedang melakukan perjalanan dinas ke Yogyakarta, tanpa sadar saya dicopet. Dompet saya yang berisikan uang yang jumlahnya cukup untuk menginap di hotel bintang empat selama semalam tidak bisa saya temukan di manapun. Mungkin dompet itu diambil ketika saya sedang mengantri tiket di bandara, atau mungkin juga ketika saya berjalan ke restoran sambil membawa barang yang sangat banyak.

Kehilangan uang atau barang memang bukan sesuatu hal yang baru sekali saya alami. Hal itu telah membuat saya belajar banyak hal, meskipun pesan yang saya dapatkan dari tiap pengalaman belum sepenuhnya dapat saya praktekkan dalam hidup sehari-hari. Kecerobohan dalam meletakkan barang adalah salah satu kelemahan saya.

Untuk berusaha ikhlas atas apa yang terjadi terhadap saya, saya berdoa dan bersyukur. Dalam hati, berusaha menyadari bahwa uang itu sekarang berada di tangan orang lain yang mungkin membutuhkan. Namun, tetap saja hati saya tidak bisa tenang. Suasana alam perasaan pun jadi buruk.

Saya berusaha bercerita kepada beberapa orang dan menumpahkan kekesalan, namun kata-kata menghibur yang diberikan tidak banyak membantu saya. Akhirnya saya melewati rapat dinas pertama saya dengan hati yang kesal.

Sampai akhirnya, setelah rapat, di lobby hotel tempat saya menginap, saya menemukan teman-teman saya berkerumun di dekat sofa.

Ada seorang anggota tim kerja kami yang tidak sadarkan diri.

Beberapa waktu kemudian, teman kami pun dilarikan ke rumah sakit, dan kami ikut bersamanya.

Saya agak kaget ketika melihat bahwa rumah sakit yang kami kunjungi ternyata rumah sakit Katolik yang ternyata salah satu rumah sakit yang baik di kota ini. Saya merasakan perasaan yang berbeda saat berada di sana, memandangi patung salib Yesus dan memperhatikan beberapa keluarga pasien yang sedang berdoa. Perasaan seperti berada di rumah.

Kemudian, saya tanpa sengaja membaca majalah dinding yang ditempel di ruang IGD.

Tidak lama kemudian, saya merasa bahwa Tuhan menegur saya. Kejadian buruk yang saya alami seharusnya tidak perlu membuat saya bersedih terlalu dalam. Tuhan telah memberi rancangan-Nya yang terbaik kaerna kasih, dan Dia tidak pernah meninggalkan saya sendiri.

Beginilah tulisan yang tertulis di dinding itu:

Mungkin banyak yang dengar lagu sentuh hatiku, yang dinyanyikan oleh maria Shandy. Akan tetapi dibalik lagu itu ternyata ada sebuah kisah yang luar biasa. Pencipta lagu ini adalah seorang anak Tuhan, dan kisah di dalam lagu itu adalah milik teman sekolahnya.

Temannya itu diperkosa oleh ayahnya sendiri dan menjadi gila, sehingga harus dipasung(dirantai) dirumahnya. Ia suka datang dan mendoakan anak itu sambil sesekali menulis lirik lagu..waktu pun berlalu...

Diapun pindah kota dan mulai sibuk dengan kegiatannya sendiri. Suatu ketika anak perempuan itu menelpon dia.

Tentu saja kaget bukan main, karena anak itu gila dan dipasung pula. Kok skrg bisa lepas? Telepon pula?

Akhirnya anak perempuan itu cerita,suatu hari entah karena karat atau bagaimana rantainya lepas. Satu hal yang langsung dia ingat, dia mau bunuh bapaknya!

Tetapi saat dia bangun, ia melihat Tuhan Yesus dengan jubah putihnya, berkata :
"Kamu harus maafin papa kamu."

Tetapi anak itu ga bisa dan dia terus menangis, memukul, dan berteriak..

Sampai akhirnya Tuhan memeluk dia dan berkata : "Aku mengasihimu"

Walaupun bergumul akhirnya anak itupun memaafkan papanya, mereka sekeluarga menangis dan boleh kembali hidup normal.

Dari situ lah lagu sentuh hatiku ditulis,

betapa ku mencintai segala yang telah terjadi

tak pernah sendiri, selalu menyertai

betapa kumenyadari didalam hidupku ini..

kau selalu memberi rancangan terbaik oleh karena kasih

Bapa sentuh hatiku, ubah hidupku, menjadi yang baru

Ajarku mengerti sebuah kasih yang selalu memberi..

KasihMu ya Tuhan tak pernah berhenti..

Saya pulang dari rumah sakit itu dengan teman kami yang ternyata baik-baik saja. Esoknya, saya mengikuti rapat hari kedua dengan lebih bersukacita.

Jumat, 11 Juni 2010

Surat dari Ayah

Di bawah ini adalah surat dari ayah saya untuk ibu saya, yang ditulis dua tahun sebelum ia meninggalkan kami untuk selamanya.

Surat ini ditulis di suatu malam ketika ayah dan ibu saya mengadiri persekutuan di luar kota, dan akhirnya kami temukan ketika kami membereskan barang-barang peninggalan ayah saya seusai kematiannya.

Untuk istriku yang kukasihi,

Hari ini, saya ingin agar engkau mengetahui isi hati saya berhubungan dengan hari kematian. Saya sudah sering bicara dengan kamu di rumah bahwa ada kelahiran, ada pertumbuhan, dan ada kematian dalam perjalanan hidup seseorang. Manusia dapat mati kapan saja dan di mana saja. Bagi orang yang ada di dalam Kristus, kematian bukanlah akhir dari suatu kehidupan. Ada suatu kehidupan yang lebih indah di balik kematian seseorang yang berada di dalam Kristus. Oleh sebab itu aku ingin berpesan kepadamu, bila suatu saat Tuhan memanggilku terlebih dulu, aku harap kamu tidak kecewa kepada Tuhan, atau menyesali hidup ini, atau menyesali kemesraan kita yang begitu singkat dalam hidup berkeluarga kita.

Kamu harus ingat bahwa segala yang terjadi dalam hidup ini, bagi kita yang ada di dalam Kristus, adalah seizin Tuhan; dan itu juga rencana yang indah dari Tuhan buat kita. Syukurilah semua itu, dan jangan teteskan air mata kesedihan bila semua itu terjadi. Tabahkanlah dan hadapi dengan ketegaran, anggap semuanya adalah suatu hal yang lumrah. Akupun akan mengerti bila kamu tidak meneteskan air mata. Bukan karena kamu tidak mencintai saya, tetapi saya tahu bahwa kamu mengasihi Tuhan dan merelakan saya untuk dipanggil kembali oleh kekasih saya, yaitu Kristus Tuhan.

Bila waktunya sudah tiba, ingatlah bahwa Tuhan akan memeliharamu sekeluarga. Tuhan akan menjagamu. Kiranya kekuatan dari Allah Bapa kita dan kasih dari Kristus, dan penyertaan, pertolongan, serta penghiburan menyertai kamu dan anak-anak sampai selama-lamanya. Sampai kita berkumpul di rumah Bapa di Surga. Amin.


The Feeling of Loss

Hari ini saya kehilangan Blackberry saya yang baru saya beli dua minggu yang lalu. Bukan Blackberry baru memang, tapi masih dalam kondisi yang baik. Blackberry bekas ini berhasil saya beli setelah penantian panjang, usaha menabung, dan menjual beberapa barang yang tidak saya butuhkan lagi. Intinya, Blackberry ini berarti buat saya.

Selama dua minggu saya memiliki Blackberry, saya sangat lekat dengan aktivitas dunia maya. Saya merasakan bagaimana kehadiran Blackberry ini telah mengubah hidup saya jadi lebih mudah dan berkualitas. Komunikasi sangat mudah dan lancar lewat Blackberry Messenger dan berkirim email menjadi sangat menyenangkan dengan fasilitas push mail. Namun nyatanya, semua itu harus saya lepaskan begitu saja.

Blackberry saya diambil oleh seseorang tanpa saya sadari. Entah jatuh atau sengaja dicuri, yang jelas setelah saya sadar bahwa Blackberry saya telah lenyap, nomer telepon Blackberry saya sudah tidak dapat dihubungi.

Dengan perasaan sedih yang saya rasakan, saya mencoba melanjutkan kegiatan siang ini seperti tidak terjadi apa-apa. Saya tetap ikut kuliah, hadir ke kelas, bercanda dengan beberapa teman, menghadiri rapat seminar, dan akhirnya pulang ke rumah. Saya sudah mengikhlaskan Blackberry saya itu untuk dijual atau dimanfaatkan oleh orang yang mengambilnya. Saya yakin orang tersebut sangat membutuhkannya. Saya pun tetap bersyukur pada Tuhan karena semalang apapun nasib saya, saya masih lebih beruntung bila dibandingkan orang itu karena saya mampu membeli Blackberry sedangkan dia tidak.

Namun yang akhirnya menjadi menarik bagi saya, selama saya bersedih dan merasa kehilangan, saya melihat banyak orang lain yang juga sedang kehilangan. Di televisi saya menyaksikan beberapa tokoh terkenal yang kehilangan keluarganya. Di situs jejaring sosial saya menjumpai beberapa kawan yang juga kehilangan beberapa kepunyaannya. Di kampus beberapa teman sedang bersedih karena kehilangan kesempatan untuk lulus tahun ini. Seakan-akan hari ini adalah hari kehilangan sedunia.

Lalu saya tersadar.

Hari ini sama dengan hari-hari lainnya. Hari-hari biasa di mana banyak orang kehilangan sesuatu yang menjadi miliknya. Hanya saja kita buta. Kita tidak pernah peduli dengan perasaan kehilangan yang dialami sesama kita. Kita tidak mau meluangkan sedikit waktu untuk mendengar sedihnya kehilangan keluarga, kesempatan, dan hak-hak manusia.

Yang membuat hari ini berbeda adalah kehilangan. Kehilangan membuat hati kita lebih peka terhadap perasaan kehilangan yang dialami orang lain.

Karena itu, cobalah bersyukur untuk setiap kehilangan yang kita alami. Dan manfaatkanlah kehilangan kita untuk mendapatkan hal yang lebih berharga. Isilah hidup mereka yang kehilangan dengan cinta kita yang tulus.

Sepenggal kalimat dari Alkitab berbicara tentang kehilangan:

"Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN!"

Sesungguhnya kita tidak pernah kehilangan.

Kamis, 04 Februari 2010

[untitled]

Stase minggu pertama saya di sebuah rumah sakit pendidikan telah membawa banyak pengalaman yang mengubah pandangan saya terhadap kehidupan. Mungkin inilah hal yang paling berharga bagi seorang dokter: kehormatan untuk menimba pelajaran mengenai tubuh manusia dan terlebih lagi, pelajaran mengenai hidup.

Saya rasa hampir setiap koass pernah menyaksikan pasien meninggal di depan matanya. Entah karena sebab apa. Namun, bagi saya, sungguh miris rasanya karena sebagian pasien meninggal bukan karena rendahnya mutu pelayanan dan kemampuan dokter dalam menangani penyakit pasien, namun karena sang pasien tidak mampu ‘membeli’ kehidupannya.

Saya sadar sepenuhnya bahwa dalam hidup pasti ada yang namanya survival of the fittest (setidaknya saya percaya bahwa Darwin benar soal proses seleksi alam ini). Mereka yang mampu bertahan akan terus hidup dan memiliki kesempatan untuk menghasilkan keturunan dengan kualitas wahid, sedangkan mereka yang lemah terpaksa harus mengalah. Namun, meskipun saya bukan seorang sosialis, saya percaya bahwa setiap manusia berhak untuk mendapat pelayanan kesehatan untuk mempertahankan hidupnya. Apa gunanya spesies setingkat manusia membentuk koloni kalau bukan untuk membangun kesejahteraan tiap individu di dalam populasinya? Koloni, atau dalam hal ini negara, bertanggung jawab atas kesehatan dan kehidupan rakyatnya.

Memang, hidup ada di tangan Tuhan. Tapi, apakah menyerah kepada ajal karena tidak mampu membayar juga masuk ke dalam kamus-Nya? Bukankah nabi-nabi datang ke dalam dunia untuk membuat tanda ajaib dan mujizat kesembuhan? Saya percaya Tuhan ingin menjamah hamba-Nya yang sakit dan menderita.

Mungkin itulah faktor utama yang membuat saya sempat merasa tertekan selama stase saya di sebuah rumah sakit pendidikan. Melihat satu-persatu pasien pulang (entah pulang paksa ataupun ‘berpulang’ ke sisi-Nya) tanpa bisa berbuat banyak. Melihat air mata dan teriakan putus asa dari keluarga yang ditinggalkan. Melihat ketidakadilan. Melihat ketidakberdayaan.

Pasien saya, sebut saja Tn. A, mengajarkan saya banyak hal. Tn. A adalah seorang yatim piatu, yang tinggal bersama dengan kakaknya. Usianya baru 25 tahun dan belum menikah, namun sudah mengalami gagal ginjal yang mengharuskannya menjalani dialisis selama beberapa kali seminggu. Pada awalnya, dia sempat menjalani beberapa kali dialisis di sebuah rumah sakit swasta. Namun, karena biaya yang semakin menipis, kakaknya mengajukan permohonan Jamkesmas dan membawa sang adik berobat di rumah sakit tempat saya bertugas.

Di sinilah saya melihat bahwa Jamkesmas, sekalipun merupakan singkatan dari Jaminan Kesehatan Masyarakat, tidak dapat menjadi jaminan mutlak bagi kesehatan masyarakat. Tn. A yang saya temui ternyata membutuhkan hemodialisis cito karena tiba-tiba mengalami sesak malam itu. Sang kakak yang awalnya berpikir untuk menunggu kesempatan hemodialisis gratis lewat Jamkesmas (yang entah kapan baru akan dilaksanakan) terpaksa mengubah keputusannya. Dia rela mengeluarkan biaya hampir satu juta rupiah (entah harus bekerja berapa bulan untuk mendapatkannya) untuk menukarnya dengan nyawa adiknya. Saat itulah saya bertekad, akan berupaya semaksimal mungkin untuk keselamatan Tn. A.

Setelah melakukan informed consent kepada kakak Tn. A, saya mulai mencari informasi mengenai rumah sakit swasta yang bisa melayani hemodialisis cito. Perawat yang berjaga bersama saya terlihat kebingungan dengan keputusan saya namun dengan segera menolong saya menghubungi beberapa rumah sakit yang dikenalnya. Setelah beberapa saat mencari, sebuah rumah sakit swasta ternyata bersedia melakukan hemodialisis cito, namun dibutuhkan waktu sekitar satu jam lagi untuk mendatangkan petugas hemodialisis dan mempersiapkan peralatan. Tidak apa, pikir saya. Menunda satu jam lebih baik daripada satu hari.

Saya menghubungi dokter jaga rumah sakit tersebut untuk berbicara langsung dan mempersiapkan transfer pasien. Dalam waktu satu jam, Tn. A pun berhasil diberangkatkan. Saat itu, saya lega setengah mati. Saya percaya misi saya berhasil. Tn. A kini punya harapan untuk melanjutkan hidupnya.

Lima jam kemudian, sekitar pukul delapan pagi. Tn. A kembali ke rumah sakit tempat saya bertugas. Kondisinya baik. Tidak sesak, dan bisa tidur tenang. Saya sangat bahagia ketika sang kakak kembali dengan wajah sumringah. Namun tak lama, sekitar satu atau dua jam kemudian, perawat berteriak memanggil saya. Tn. A apneu!

Saya tidak percaya apa yang saya dengar. Bukankah dia sudah dihemodialisis? Bukankah saya sudah berusaha dan berhasil? Bukankah sang kakak telah menukar satu juta rupiah dengan hidup adiknya? Bukankah Tuhan sudah mendengar seruan hamba-Nya?

Pagi itu, Tn. A kembali menghadap pencipta-Nya. Sang kakak menangis tak henti-hentinya di sisi sang adik. Saya yang tidak tahan melihat cinta persaudaraan yang begitu besar hanya bisa meminta sang kakak untuk mengikhlaskan kepergian adiknya dan buru-buru meninggalkan ruangan. Sambil mengurus surat kematian, saya terus bertanya di dalam hati, kenapa semua jadi begini.

Sebelum saya meninggalkan bangsal, saya menyempatkan diri menemui kakak Tn. A. Saya mohon maaf karena segala keterbatasan saya. Saya sudah melakukan semua yang saya bisa. Saya benar-benar menyesal, karena di dalam hati saya tahu, pasti ada sesuatu yang luput dari kemampuan saya, yang salah dan terjadi pada Tn. A.

Tanpa saya duga, yang saya terima adalah sebuah senyuman. Senyuman yang meski tenggelam dalam air mata tetap bersinar dengan tulusnya. Senyuman dan ucapan terima kasih, itulah yang saya dapatkan sebagai balasan. Hati yang hancur, itulah yang saya rasakan.

Esoknya, saya merasa benar-benar tidak bersemangat untuk kembali beraktivitas di bangsal. Rasanya dunia saya runtuh.

Tetapi kemudian, saya melihat ke sekeliling dan merenung. Saya bukanlah satu-satunya orang yang pernah merasakan hal seperti ini. Teman-teman saya juga pernah merasakannya. Betapa koass-koass lain, yang sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menolong pasien mereka, juga pernah kehilangan. Betapa perawat-perawat yang bekerja dengan setia harus terus berhadapan dengan pasien meninggal lagi dan lagi.

Saya mulai menemukan harta karun di balik semua ini. To cure sometimes, to relieve often, to comfort always. Dokter tidak mampu menyembuhkan, tapi kehadirannya haruslah menjadi kenyamanan bagi pasiennya. Semua pengalaman ini adalah pelajaran nyata yang membuat saya mengerti dengan hati, bukan hanya lewat teori.

Kini saya sudah bisa tersenyum lagi, menikmati pekerjaan sebagai koass karena pekerjaan ini adalah pekerjaan yang unik. Saya tidak mau menyesali apa yang telah terjadi. Meski saya tidak mampu menyelamatkan hidup Tn. A, saya lega saya telah menyempatkan diri mendengar berbagai keluhan keluarganya, menjadi penghiburan di kala duka. Kini saya bertekad untuk tidak hanya menjadi profesional yang berdiri terbungkus jas putih, tapi terlebih lagi, menjadi manusia sejati.

Saya akan terus bejuang untuk pasien-pasien saya.

Minggu, 02 Agustus 2009

Humility

O Jesus! meek and humble of heart, Hear me.
From the desire of being esteemed,
Deliver me, Jesus.

From the desire of being loved…
From the desire of being extolled …
From the desire of being honored …
From the desire of being praised …
From the desire of being preferred to others…
From the desire of being consulted …
From the desire of being approved …
From the fear of being humiliated …
From the fear of being despised…
From the fear of suffering rebukes …
From the fear of being calumniated …
From the fear of being forgotten …
From the fear of being ridiculed …
From the fear of being wronged …
From the fear of being suspected …

That others may be loved more than I,
Jesus, grant me the grace to desire it.

That others may be esteemed more than I …
That, in the opinion of the world,
others may increase and I may decrease …
That others may be chosen and I set aside …
That others may be praised and I unnoticed …
That others may be preferred to me in everything…
That others may become holier than I, provided that I may become as holy as I should…

(Rafael Cardinal Merry del Val)

Kerendahan hati bukanlah hanya sekedar menjadi tidak sombong. Kerendahan hati ialah menyadari siapa sebenarnya kita manusia, yang eksistensinya tidak jauh berbeda dari embun yang pagi ini ada namun sejenak telah menguap tiada.