Senin, 25 Juli 2011
Merenung
Dan aku berpikir.
Sekian lama aku tak menyapa-Mu.
Saat aku berjalan di malam hari, aku memandang ke atas ke langit malam yang luas. Dan aku terus bertanya.
Kau yang berada di atas sana, Kau yang selalu terjaga, apakah yang Kau lihat ketika Kau memandang ke bawah? Ketika Kau mengarahkan wajah-Mu padaku, apakah yang Kau lihat?
Aku yang selalu menjadi inginku, yang selalu meminta dari-Mu? Aku yang selalu memuja kehidupanku, dan tunduk hanya pada lelahku?
Aku tak membenci, aku selalu berbagi. Aku menangis saat kaum-Mu menangis, aku teriakkan suara mereka. Aku perah seluruh upayaku seiring detak untuk mereka. Tapi apakah yang Kau lihat?
Aku yang percaya tak ada yang tak bisa kuraih? Aku yang penuh kelimpahan? Aku yang Kau beri bahagia? Aku yang bangga? Aku yang angkuh?
Aku yang sepi? Aku yang rindu? Aku yang sengsara? Aku yang buta?
Aku yang tak lagi menyapa-Mu?
Apakah yang Kau lihat?
Apakah yang aku ingin Kau lihat?
Aku mau menjadi pahlawan-Mu. Aku mau menjadi ingin-Mu. Dan meski Kau tetap mencintaiku, Aku tak mau yang Kau tak mau. Aku mau jadi kebanggaan-Mu.
Maka katakanlah kepadaku.
Katakanlah kepadaku dan biarkan aku mau.
Aku (tidak) bangga menjadi anak Indonesia!
Saya punya satu kabar baik dan satu kabar buruk. Karena saya suka akhir yang bahagia, maka saya akan menyampaikan kabar buruk terlebih dahulu.
Saya tidak bangga menjadi anak Indonesia. Saya tidak bangga pada Indonesia. Mengapa kita harus bangga ketika masih ada anak mati karena kurang gizi sementara pejabatnya makan enak setiap hari? Mengapa kita harus bangga ketika jutaan keluarga miskin tak punya tempat tinggal layak sementara wakil rakyat sibuk membangun gedung megah? Mengapa kita harus bangga ketika anak-anak sekolah kita mulai mengenal rokok sementara para pemimpin yang tak peduli menjual bangsa mereka sendiri?
Bagi saya, menanamkan rasa bangga terhadap bangsa ini dalam diri anak-anak kita adalah suatu kebodohan. Mungkin kita berpikir bahwa seperti halnya membiarkan anak kita dimanja dongeng dan imajinasi, baik pula membiarkan mereka hidup dalam ilusi. Jangan bingung bila bangsa ini sulit untuk maju karena terbuai oleh kepuasan semu. Jangan kaget ketika melihat anak-anak kita mulai berpikir bahwa idealisme adalah suatu kekonyolan. Padahal sesungguhnya, ikut berenang dalam arus realitas kebobrokanlah yang membuat kita jadi ikan mati. Ikan mati di bangsa yang mati.
Seharusnya kita tanamkan rasa malu. Malu karena kekayaan alam yang berlimpah peninggalan nenek moyang habis dimanfaatkan bangsa lain. Malu karena bangsa yang pernah berjaya dulu kini hidup sengsara. Malu karena budaya dianggap kuno dan tidak lagi relevan.
Dari sanalah akan muncul rasa geram. Geram melihat pemerintah yang tidak membela kepentingan rakyatnya. Geram melihat harga diri kita diinjak-injak oleh harta. Geram melihat rendahnya moral para penguasa.
Yang kita mau dari anak-anak kita adalah rasa cinta. Cinta sejati yang muncul karena rasa memiliki. Cinta sejati yang mengalir dalam air mata ketika melihat bangsa sendiri dibodohi. Cinta sejati yang mendorong mereka keluar dari zona kenyamanan mereka dan merengkuh sesamanya yang tertindas.
Sekarang, saatnya saya menyampaikan kabar baiknya. Meskipun saya tidak bangga, saya masih cinta pada bangsa dan negara ini. Dan saya yakin bahwa cinta kitalah yang bisa mengubah bangsa ini. Kitalah yang bisa berusaha, agar anak-anak kita bisa berkata pada anak-anaknya; "Berbanggalah jadi anak Indonesia!"
23 Juli 2011
Memperingati Hari Anak Nasional
"Aku (mau membuat kalian) bangga menjadi anak Indonesia!"
Kamis, 23 September 2010
Sentuh Hatiku
Mungkin banyak yang dengar lagu sentuh hatiku, yang dinyanyikan oleh maria Shandy. Akan tetapi dibalik lagu itu ternyata ada sebuah kisah yang luar biasa. Pencipta lagu ini adalah seorang anak Tuhan, dan kisah di dalam lagu itu adalah milik teman sekolahnya.
Temannya itu diperkosa oleh ayahnya sendiri dan menjadi gila, sehingga harus dipasung(dirantai) dirumahnya. Ia suka datang dan mendoakan anak itu sambil sesekali menulis lirik lagu..waktu pun berlalu...
Diapun pindah kota dan mulai sibuk dengan kegiatannya sendiri. Suatu ketika anak perempuan itu menelpon dia.
Tentu saja kaget bukan main, karena anak itu gila dan dipasung pula. Kok skrg bisa lepas? Telepon pula?
Akhirnya anak perempuan itu cerita,suatu hari entah karena karat atau bagaimana rantainya lepas. Satu hal yang langsung dia ingat, dia mau bunuh bapaknya!
Tetapi saat dia bangun, ia melihat Tuhan Yesus dengan jubah putihnya, berkata :
"Kamu harus maafin papa kamu."
Tetapi anak itu ga bisa dan dia terus menangis, memukul, dan berteriak..
Sampai akhirnya Tuhan memeluk dia dan berkata : "Aku mengasihimu"
Walaupun bergumul akhirnya anak itupun memaafkan papanya, mereka sekeluarga menangis dan boleh kembali hidup normal.
Dari situ lah lagu sentuh hatiku ditulis,
betapa ku mencintai segala yang telah terjadi
tak pernah sendiri, selalu menyertai
betapa kumenyadari didalam hidupku ini..
kau selalu memberi rancangan terbaik oleh karena kasih
Bapa sentuh hatiku, ubah hidupku, menjadi yang baru
Ajarku mengerti sebuah kasih yang selalu memberi..
KasihMu ya Tuhan tak pernah berhenti..
Jumat, 11 Juni 2010
Surat dari Ayah
Untuk istriku yang kukasihi,Hari ini, saya ingin agar engkau mengetahui isi hati saya berhubungan dengan hari kematian. Saya sudah sering bicara dengan kamu di rumah bahwa ada kelahiran, ada pertumbuhan, dan ada kematian dalam perjalanan hidup seseorang. Manusia dapat mati kapan saja dan di mana saja. Bagi orang yang ada di dalam Kristus, kematian bukanlah akhir dari suatu kehidupan. Ada suatu kehidupan yang lebih indah di balik kematian seseorang yang berada di dalam Kristus. Oleh sebab itu aku ingin berpesan kepadamu, bila suatu saat Tuhan memanggilku terlebih dulu, aku harap kamu tidak kecewa kepada Tuhan, atau menyesali hidup ini, atau menyesali kemesraan kita yang begitu singkat dalam hidup berkeluarga kita.Kamu harus ingat bahwa segala yang terjadi dalam hidup ini, bagi kita yang ada di dalam Kristus, adalah seizin Tuhan; dan itu juga rencana yang indah dari Tuhan buat kita. Syukurilah semua itu, dan jangan teteskan air mata kesedihan bila semua itu terjadi. Tabahkanlah dan hadapi dengan ketegaran, anggap semuanya adalah suatu hal yang lumrah. Akupun akan mengerti bila kamu tidak meneteskan air mata. Bukan karena kamu tidak mencintai saya, tetapi saya tahu bahwa kamu mengasihi Tuhan dan merelakan saya untuk dipanggil kembali oleh kekasih saya, yaitu Kristus Tuhan.Bila waktunya sudah tiba, ingatlah bahwa Tuhan akan memeliharamu sekeluarga. Tuhan akan menjagamu. Kiranya kekuatan dari Allah Bapa kita dan kasih dari Kristus, dan penyertaan, pertolongan, serta penghiburan menyertai kamu dan anak-anak sampai selama-lamanya. Sampai kita berkumpul di rumah Bapa di Surga. Amin.
The Feeling of Loss
Kamis, 04 Februari 2010
[untitled]
Stase minggu pertama saya di sebuah rumah sakit pendidikan telah membawa banyak pengalaman yang mengubah pandangan saya terhadap kehidupan. Mungkin inilah hal yang paling berharga bagi seorang dokter: kehormatan untuk menimba pelajaran mengenai tubuh manusia dan terlebih lagi, pelajaran mengenai hidup.
Saya rasa hampir setiap koass pernah menyaksikan pasien meninggal di depan matanya. Entah karena sebab apa. Namun, bagi saya, sungguh miris rasanya karena sebagian pasien meninggal bukan karena rendahnya mutu pelayanan dan kemampuan dokter dalam menangani penyakit pasien, namun karena sang pasien tidak mampu ‘membeli’ kehidupannya.
Saya sadar sepenuhnya bahwa dalam hidup pasti ada yang namanya survival of the fittest (setidaknya saya percaya bahwa Darwin benar soal proses seleksi alam ini). Mereka yang mampu bertahan akan terus hidup dan memiliki kesempatan untuk menghasilkan keturunan dengan kualitas wahid, sedangkan mereka yang lemah terpaksa harus mengalah. Namun, meskipun saya bukan seorang sosialis, saya percaya bahwa setiap manusia berhak untuk mendapat pelayanan kesehatan untuk mempertahankan hidupnya. Apa gunanya spesies setingkat manusia membentuk koloni kalau bukan untuk membangun kesejahteraan tiap individu di dalam populasinya? Koloni, atau dalam hal ini negara, bertanggung jawab atas kesehatan dan kehidupan rakyatnya.
Memang, hidup ada di tangan Tuhan. Tapi, apakah menyerah kepada ajal karena tidak mampu membayar juga masuk ke dalam kamus-Nya? Bukankah nabi-nabi datang ke dalam dunia untuk membuat tanda ajaib dan mujizat kesembuhan? Saya percaya Tuhan ingin menjamah hamba-Nya yang sakit dan menderita.
Mungkin itulah faktor utama yang membuat saya sempat merasa tertekan selama stase saya di sebuah rumah sakit pendidikan. Melihat satu-persatu pasien pulang (entah pulang paksa ataupun ‘berpulang’ ke sisi-Nya) tanpa bisa berbuat banyak. Melihat air mata dan teriakan putus asa dari keluarga yang ditinggalkan. Melihat ketidakadilan. Melihat ketidakberdayaan.
Pasien saya, sebut saja Tn. A, mengajarkan saya banyak hal. Tn. A adalah seorang yatim piatu, yang tinggal bersama dengan kakaknya. Usianya baru 25 tahun dan belum menikah, namun sudah mengalami gagal ginjal yang mengharuskannya menjalani dialisis selama beberapa kali seminggu. Pada awalnya, dia sempat menjalani beberapa kali dialisis di sebuah rumah sakit swasta. Namun, karena biaya yang semakin menipis, kakaknya mengajukan permohonan Jamkesmas dan membawa sang adik berobat di rumah sakit tempat saya bertugas.
Di sinilah saya melihat bahwa Jamkesmas, sekalipun merupakan singkatan dari Jaminan Kesehatan Masyarakat, tidak dapat menjadi jaminan mutlak bagi kesehatan masyarakat. Tn. A yang saya temui ternyata membutuhkan hemodialisis cito karena tiba-tiba mengalami sesak malam itu. Sang kakak yang awalnya berpikir untuk menunggu kesempatan hemodialisis gratis lewat Jamkesmas (yang entah kapan baru akan dilaksanakan) terpaksa mengubah keputusannya. Dia rela mengeluarkan biaya hampir satu juta rupiah (entah harus bekerja berapa bulan untuk mendapatkannya) untuk menukarnya dengan nyawa adiknya. Saat itulah saya bertekad, akan berupaya semaksimal mungkin untuk keselamatan Tn. A.
Setelah melakukan informed consent kepada kakak Tn. A, saya mulai mencari informasi mengenai rumah sakit swasta yang bisa melayani hemodialisis cito. Perawat yang berjaga bersama saya terlihat kebingungan dengan keputusan saya namun dengan segera menolong saya menghubungi beberapa rumah sakit yang dikenalnya. Setelah beberapa saat mencari, sebuah rumah sakit swasta ternyata bersedia melakukan hemodialisis cito, namun dibutuhkan waktu sekitar satu jam lagi untuk mendatangkan petugas hemodialisis dan mempersiapkan peralatan. Tidak apa, pikir saya. Menunda satu jam lebih baik daripada satu hari.
Saya menghubungi dokter jaga rumah sakit tersebut untuk berbicara langsung dan mempersiapkan transfer pasien. Dalam waktu satu jam, Tn. A pun berhasil diberangkatkan. Saat itu, saya lega setengah mati. Saya percaya misi saya berhasil. Tn. A kini punya harapan untuk melanjutkan hidupnya.
Lima jam kemudian, sekitar pukul delapan pagi. Tn. A kembali ke rumah sakit tempat saya bertugas. Kondisinya baik. Tidak sesak, dan bisa tidur tenang. Saya sangat bahagia ketika sang kakak kembali dengan wajah sumringah. Namun tak lama, sekitar satu atau dua jam kemudian, perawat berteriak memanggil saya. Tn. A apneu!
Saya tidak percaya apa yang saya dengar. Bukankah dia sudah dihemodialisis? Bukankah saya sudah berusaha dan berhasil? Bukankah sang kakak telah menukar satu juta rupiah dengan hidup adiknya? Bukankah Tuhan sudah mendengar seruan hamba-Nya?
Pagi itu, Tn. A kembali menghadap pencipta-Nya. Sang kakak menangis tak henti-hentinya di sisi sang adik. Saya yang tidak tahan melihat cinta persaudaraan yang begitu besar hanya bisa meminta sang kakak untuk mengikhlaskan kepergian adiknya dan buru-buru meninggalkan ruangan. Sambil mengurus surat kematian, saya terus bertanya di dalam hati, kenapa semua jadi begini.
Sebelum saya meninggalkan bangsal, saya menyempatkan diri menemui kakak Tn. A. Saya mohon maaf karena segala keterbatasan saya. Saya sudah melakukan semua yang saya bisa. Saya benar-benar menyesal, karena di dalam hati saya tahu, pasti ada sesuatu yang luput dari kemampuan saya, yang salah dan terjadi pada Tn. A.
Tanpa saya duga, yang saya terima adalah sebuah senyuman. Senyuman yang meski tenggelam dalam air mata tetap bersinar dengan tulusnya. Senyuman dan ucapan terima kasih, itulah yang saya dapatkan sebagai balasan. Hati yang hancur, itulah yang saya rasakan.
Esoknya, saya merasa benar-benar tidak bersemangat untuk kembali beraktivitas di bangsal. Rasanya dunia saya runtuh.
Tetapi kemudian, saya melihat ke sekeliling dan merenung. Saya bukanlah satu-satunya orang yang pernah merasakan hal seperti ini. Teman-teman saya juga pernah merasakannya. Betapa koass-koass lain, yang sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menolong pasien mereka, juga pernah kehilangan. Betapa perawat-perawat yang bekerja dengan setia harus terus berhadapan dengan pasien meninggal lagi dan lagi.
Saya mulai menemukan harta karun di balik semua ini. To cure sometimes, to relieve often, to comfort always. Dokter tidak mampu menyembuhkan, tapi kehadirannya haruslah menjadi kenyamanan bagi pasiennya. Semua pengalaman ini adalah pelajaran nyata yang membuat saya mengerti dengan hati, bukan hanya lewat teori.
Kini saya sudah bisa tersenyum lagi, menikmati pekerjaan sebagai koass karena pekerjaan ini adalah pekerjaan yang unik. Saya tidak mau menyesali apa yang telah terjadi. Meski saya tidak mampu menyelamatkan hidup Tn. A, saya lega saya telah menyempatkan diri mendengar berbagai keluhan keluarganya, menjadi penghiburan di kala duka. Kini saya bertekad untuk tidak hanya menjadi profesional yang berdiri terbungkus jas putih, tapi terlebih lagi, menjadi manusia sejati.
Saya akan terus bejuang untuk pasien-pasien saya.
Minggu, 02 Agustus 2009
Humility
O Jesus! meek and humble of heart, Hear me.
From the desire of being esteemed,
Deliver me, Jesus.
From the desire of being loved…
From the desire of being extolled …
From the desire of being honored …
From the desire of being praised …
From the desire of being preferred to others…
From the desire of being consulted …
From the desire of being approved …
From the fear of being humiliated …
From the fear of being despised…
From the fear of suffering rebukes …
From the fear of being calumniated …
From the fear of being forgotten …
From the fear of being ridiculed …
From the fear of being wronged …
From the fear of being suspected …
That others may be loved more than I,
Jesus, grant me the grace to desire it.
That others may be esteemed more than I …
That, in the opinion of the world,
others may increase and I may decrease …
That others may be chosen and I set aside …
That others may be praised and I unnoticed …
That others may be preferred to me in everything…
That others may become holier than I, provided that I may become as holy as I should…
(Rafael Cardinal Merry del Val)
Kerendahan hati bukanlah hanya sekedar menjadi tidak sombong. Kerendahan hati ialah menyadari siapa sebenarnya kita manusia, yang eksistensinya tidak jauh berbeda dari embun yang pagi ini ada namun sejenak telah menguap tiada.