Sabtu, 25 April 2009

Sepeda Tua

Saya mendapatkan sepeda pertama saya ketika saya masih kecil, bahkan sangat kecil, sampai-sampai bersekolah saja belum. Saat itu, sepeda yang saya miliki adalah sepeda kecil beroda tiga yang berwarna ungu, dengan hiasan kepala beruang di depannya.

Tidak banyak yang saya ingat tentang sepeda itu, termasuk di mana keberadaannya terakhir. Namun saya masih ingat bahwa sejak saya memiliki sepeda itu, saya punya jadwal baru. Hampir setiap hari, tepatnya sore hari sekitar pukul lima, setelah saya mandi, saya akan memaksa pembantu saya untuk mengantarkan saya naik sepeda di dekat rumah. Dia berjalan kaki, saya mengayuh.

Sepeda itu sangat menyenangkan, karena semenjak saya memilikinya saya bisa berpetualang lebih jauh. Melihat blok sebelah, mengunjungi taman di ujung kompleks, bertemu teman baru, dan berbagai pengalaman seru lainnya.

Sampai akhirnya, entah kapan dan mengapa, saya tidak lagi menaiki sepeda itu.

Kini, saya sudah berusia lebih dari dua puluh tahun. Sudah lebih dari sepuluh tahun saya tidak melihat sepeda itu. Entah di mana ia berada. Namun, mengingat kembali kenangan saya bersama sepeda itu, saya belajar sesuatu yang baru.

Selama kita hidup, kita terus bertumbuh. Ke atas, ke samping, ke bawah, ke depan, atau ke mana saja. Yang jelas, kita terus berubah. Cita-cita berganti, impian bergeser. Bahkan terkadang, hal-hal yang prinsip pun akhirnya berhasil direnovasi oleh sang waktu.

Sadar atau tidak, banyak sekali nilai-nilai masa kecil kita yang kini telah berubah. Namun, kita tidak pernah terusik bukan? Karena nilai-nilai yang kita anut sekarang adalah bentukan masa, yang kita dapatkan lewat sejuta momen kehidupan kita. Menyesalinya berarti menyesali hidup yang kita punya.

Saat ini, saya tidak punya sepeda. Saya juga tidak lagi tertarik naik sepeda. Saya punya mobil, dan saya bisa berjalan kaki atau naik bus jika mobil saya mogok. Jelas, sepeda bukan lagi kebutuhan saya.

Pengalaman belasan tahun telah mengubah nilai dan cara pandang saya terhadap sepeda. Dan itu sangat normal.

Beberapa waktu lalu, saya diminta oleh sebuah perkumpulan mahasiswa untuk membagikan kisah pengalaman saya di perkumpulan tersebut. Saya sudah bergabung selama hampir 4 tahun, dan banyak hal telah saya lakukan di sana. Namun kini, fungsi saya tidak lebih dari sekedar memberi masukan untuk kegiatan-kegiatan yang berlangsung di perkumpulan tersebut, tanpa ikut ambil bagian secara langsung di dalam kegiatan-kegiatannya.

Saya sempat bertanya kepada diri saya, ke mana motivasi yang dulu saya miliki? Apakah saya terlalu lelah? Atau bosan?

Jawabannya, tidak. Bukan itu yang membuat saya tidak aktif. Ini semua mengenai nilai yang saya pegang.

Dulu, perkumpulan itu menjadi prioritas saya, sepeda saya yang memperkenalkan saya pada dunia baru. Teman-teman baru, tempat baru, suasana baru. Namun kini, hidup saya butuh lebih dari sekedar itu. Saya butuh bergerak lebih cepat, dengan prioritas-prioritas yang juga sangat berbeda.

Lalu, salahkah saya karena sepeda itu kini saya tinggalkan begitu saja? Habis manis sepah dibuang?

Saya rasa tidak.

Empat tahun setelah saya lahir, adik pertama saya lahir. Sewaktu bayi, ia tidur di ranjang bayi yang dulu adalah kepunyaan saya. Ia tumbuh dengan baju-baju bayi peninggalan saya. Ia makan dari peralatan makan bayi saya. Sampai akhirnya, ketika ia lebih besar, ialah yang mewarisi sepeda saya.

Sepeda tua itu mungkin tidak lagi berarti apa-apa bagi saya. Namun sepeda tua saya adalah sepeda baru bagi orang lain, sepeda yang disambut dengan euforia yang sama, dan siap mengantarkan orang itu kepada hal-hal baru.

Di akhir pertemuan saya dengan anggota-anggota perkumpulan itu, saya berpesan pada mereka untuk menggunakan setiap kesempatan sebaik-baiknya.

"Manfaatkanlah sepeda tua ini untuk membawamu ke tempat-tempat yang kau inginkan."

Mengapa kita berjumpa bila akhirnya dipisahkan?

"I'd rather die tomorrow than to live a hundred years without knowing you"
-John Smith, Pocahontas-

Melepas lelah setelah ujian, kemarin malam saya menyempatkan diri menonton sebuah film animasi yang baru saya beli di mal. Film ini bukan film baru, tapi saya memang belum pernah menontonnya. Pocahontas. Pasti sudah tidak asing lagi.

Film ini adalah film Disney yang masih berkisah tentang cinta, namun memiliki alur dan kisah yang agak berbeda dari film-film roman Disney lainnya. Uniknya, dibandingkan dengan film-film Disney terdahulu, film ini boleh dibilang tidak terlalu laku. Bahkan, di dalam deretan Disney Princess pun, Pocahontas tidak masuk hitungan. Padahal, Mulan yang bukan putri saja bisa berpose centil bersama Jasmine, Cinderella, Aurora, Ariel, Belle, dan Snow White. Memangnya, ada apa dengan Pocahontas?

Pocahontas pada dasarnya menceritakan cinta yang berasal dari dua dunia berbeda. Mirip dengan kisah Ariel, namun Pocahontas tidak seberuntung Ariel. Karena John Smith mengalami luka parah dan harus kembali ke Inggris, Pocahontas harus berpisah dengan cintanya karena ia telah memilih untuk tinggal bersama rakyatnya.

Film ini adalah film yang sangat berkesan bagi saya. Karena pada kenyataannya, cinta memang tidak selalu berakhir bahagia.

Saya pun teringat dengan lirik lagu yang kalau tidak salah berbunyi, "Mengapa kita berjumpa bila akhirnya dipisahkan? Mengapa kita bertemu bila akhirnya dijauhkan?" Terusik dengan lirik lagu Yovie and the Nuno tersebut, seorang teman saya lantas bertanya kepada saya, kira-kira apa jawabannya.

Saya pun menjawab, "Saya tidak tahu, karena saya tidak punya jawabannya. Jawabannya ada di antara pertemuan dan perpisahan itu." Sebuah pertemuan tidak pernah sia-sia. Bahkan ketika kita harus berpisah, waktu-waktu yang telah dilewatkan bersama akan berdampak bagi hidup kita selanjutnya. Yang pasti, kita harus mensyukurinya.

Dalam film Pocahontas, diperlihatkan bagaimana John Smith akhirnya bisa mengerti bahwa alam pun hidup, setelah ia bertemu dengan Pocahontas. Pesona wanita Indian itu telah mengajarkan dia sesuatu yang akan ia kenang selamanya. Sesuatu yang begitu berharga. Karena itulah, perpisahan yang ia alami dianggapnya sesuatu yang indah dan tidak akan terlupakan.

"If I never knew you, if i never felt this love,... I'll be lost forever... if I never knew you"

Kamis, 02 April 2009

Still on the same topic...

"Take away all my sadness, fill my life with gladness... Ease my troubles, that's what you do."

Terkadang saya membayangkan, akan sebahagia apa saya bila nanti saya diizinkan Tuhan menemukan seseorang yang akan menjadi teman jiwa saya. Seseorang yang mengambil segala kesedihan dari hidup saya, mengisi lubang itu dengan kebahagiaan, dan menghapuskan semua masalah...

Namun saya tahu saya tidak boleh mencarinya.

"Love is not self-seeking..."

Ketika kita berusaha mencari pasangan hidup kita, seringkali kita terkaburkan. Kita tidak benar-benar sedang mencari seseorang untuk kita cintai, untuk berbagi hidup, dan menghabiskan waktu bersama. Kita sebaliknya sedang mencari kepuasan ketika kebutuhan kita akan seseorang itu terpuaskan. Tujuan kita bukan lagi kebahagiaannya, melainkan kebahagiaan kita. Kita lupa bahwa kebahagiaan kita, sejatinya terletak di dalam kebahagiaannya. Itulah cinta.

Karena itu, hingga kini, saya terus belajar mengejar tujuan yang benar. Tidak lagi menginginkan seseorang untuk menjadi pendamping saya, tapi selalu menjadikan Tuhan sebagai tujuan hidup yang terutama. Apabila suatu saat saya menemukan pendamping hidup, saya pun tahu bahwa ia ada sebagai pemberian Tuhan bagi saya, dan cintalah yang menghantarkannya.