"Sometimes, at certain times, feelings need to be expressed in words."
Rabu, 25 Februari 2009
Jumat, 20 Februari 2009
The Wonderful Psalm of David
Tuhan adalah gembalaku, takkan kekurangan aku.
Ia membaringkan aku di padang yang berumput hijau, Ia membimbing aku ke air yang tenang; Ia menyegarkan jiwaku.
Ia menuntun aku di jalan yang benar oleh karena nama-Nya.
Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku; gada-Mu dan tongkat-Mu, itulah yang menghibur aku.
Engkau menyediakan hidangan bagiku, di hadapan lawanku; Engkau mengurapi kepalaku dengan minyak; pialaku penuh melimpah.
Kebajikan kan kemurahan belaka akan mengikuti aku, seumur hidupku; dan aku akan diam dalam rumah Tuhan sepanjang masa.
Demikianlah Mazmur 23, sebuah pasal yang dimuat di dalam Alkitab, yang diyakini ditulis sendiri oleh Raja Daud. Sebuah pasal yang sangat familiar sekaligus asing, karena sangat diingat namun belum tentu dimengerti.
Mazmur 23 adalah refleksi kehidupan seorang raja besar, yang berlatar belakang sebagai seorang gembala. Setelah semua yang ia lalui di dalam kehidupannya, ia menyanyikan pengalamannya dengan Tuhan, yang ia gambarkan sebagai gembala. Menarik, karena ternyata, dari lagu sederhana ini, sang raja mengajarkan kita tentang makna berkat di dalam kehidupan.
Besok, keluarga saya berencana memperingati 100 hari kematian Ayah.
100 hari bagi beberapa orang mungkin menjadi sebuah simbol atau kepercayaan yang berkaitan dengan arwah orang-orang mati. Namun bagi saya, 100 hari kembali mengingatkan berapa lama waktu yang telah mampu saya lewatkan tanpa adanya seorang ayah, yang menjadi tumpuan hidup keluarga saya. Dalam kalimat lain, 100 hari adalah banyaknya penyertaan Tuhan bagi saya di masa-masa terberat dalam hidup saya.
Dalam 100 hari tersebut, saya benar-benar diuji. Keluarga dan kerabat bolak-balik datang dan menelepon rumah saya, kerap kali menyatakan penyesalan atas kematian Ayah. Sanak saudara terus tidak bisa menerima kepergian Ayah yang sangat mendadak, dan mulai menganggap bahwa peristiwa ini seperti sebuah bencana tragis di mana Tuhan telah gagal mendatangkan mujizat-Nya. Teman-teman menyatakan rasa simpati, yang seringkali lebih mirip rasa kasihan dan iba atas kemalangan hidup saya.
Saat itulah saya kembali teringat akan Mazmur 23.
Orang-orang seringkali menganggap bahwa berkat dalam kehidupan adalah kekayaan, kesehatan, kekuatan, kepandaian, keberhasilan, dan sejuta hal baik lainnya yang bisa Anda tambahkan sendiri. Mereka terus mencari dan berdoa, untuk kesembuhan orang yang dicintainya, untuk keberhasilan studi anaknya, untuk kemajuan usaha dan bisnisnya, ataupun untuk keselamatan diri mereka sendiri. Semua itu memang tidak salah, namun tanpa sadar, mereka telah mengaburkan, bahkan menginjak-injak makna berkat yang sesungguhnya. Mereka mengurung Tuhan dan kuasa-Nya dalam ruang sempit di dalam kotak pemahaman mereka sendiri.
Raja Daud juga mengetahui hal tersebut dan memahaminya dengan jelas. Ia telah melihat banyak hal selama masa kehidupannya, yang kemudian ia tuliskan agar dapat membuka mata kita semua.
Masa-masa indah di mana ia merasa berada di padang yang hijau, masa-masa damai di mana ia boleh menikmati air yang tenang, bahkan masa-masa menakutkan di lembah kekelaman. Berbagai pengalaman kehidupannya telah membawa dia kepada sebuah kesimpulan yang menjadi akhir dari Mazmur 23: "Kebajikan kan kemurahan belaka akan mengikuti aku, seumur hidupku".
Betapa kita tidak menyadarinya! Berkat Tuhan, yang adalah kebajikan dan kemurahan itu, sesungguhnya mengikuti kita seumur hidup kita. Ketika kita telah memutuskan untuk mengikuti-Nya dan berserah kepada-Nya, setiap langkah hidup kita sesungguhnya menjadi berkat yang tidak kita sadari.
Padang hijau, air tenang, lembah kekelaman, semuanya hanya bungkus yang berbeda dari hadiah yang sama. Hadiah yang sejati itu tak lain adalah pengalaman kita dengan Tuhan di dalam setiap keadaan. Lindungan-Nya di padang, belaian-Nya di air tenang, dan tongkat-Nya di masa-masa kelam kehidupan kita, itulah yang sepantasnya menjadi apa yang kita cari.
Kini, saya tidak lagi berdoa untuk kekayaan, kepintaran, ataupun kesuksesan. Saya hanya meminta penyertaan-Nya dalam setiap langkah hidup saya, agar saya boleh melihat kemuliaan-Nya dan terus melekat kepada-Nya.
Terima kasih untuk Ayah yang dalam hidup juga matinya telah mengajarkan saya banyak sekali keindahan
Cinta setelah 14 Februari Tahun Ini
Tahun ini, tepat tanggal 14 Februari, saya kembali menemukan makna cinta. Rasanya seperti membuka kembali lemari tempat saya menyimpan semua benda kenangan. Begitu haru, begitu rindu, seperti bertemu kembali sahabat lama yang dulu pergi jauh. Dan kali ini, ia tidak lagi akan pergi.
Makna itu kini hadir sebagai sosok yang lebih matang. Makna yang hadir bukan lagi karena pemahaman intelektual ataupun prestasi kognitif, namun lewat bertahun-tahun pengalaman kehidupan dan perenungan batin.
Cinta yang dulu saya cari semata-mata sebagai ikatan relasi antara dua pasangan, tiba-tiba datang menyeruak ke dalam serambi kehidupan saya dalam bentuk yang berbeda. Hampir saja saya tidak mengenalinya, namun kehangatannya berhasil membuka mata saya.
Beberapa tahun yang lalu, ketika saya mengawali masa perkuliahan saya, saya membawa sebuah pemahaman: cinta akan mempertemukan saya dengan orang yang tepat pada saat yang tepat. Pemahaman yang terdengar dewasa namun tidak sempurna. Pemahaman yang bukan dari hati, namun hanya merupakan cara untuk menjauhkan diri dari hubungan yang tidak serius.
Akhirnya, waktu menghanguskannya. Pemahaman itu terbakar habis seiring bertambahnya usia. Seiring bertambahnya kerabat yang menikah. Seiring makin seringnya kabar yang terdengar mengenai si anu yang kini bersama si anu. Saya tidak pernah menyadari bahwa rasa iri dan ingin memiliki telah bertransformasi dan mengambil rupa sebuah ambisi untuk menemukan cinta secepatnya. Ambisi tersebut seolah mengaburkan mata hati, yang kini tidak lagi percaya pada kuasa cinta.
Hingga akhirnya, kehadiran seorang sahabat telah mendobrak pintu ruang pemahaman saya yang begitu sempit, membawa saya ke dalam perenungan pribadi, dan dalam kesendirian kembali mengumpulkan keping-keping kehidupan untuk menatanya sekali lagi. Dan inilah yang saya dapat.
Tahun ini, tepat tanggal 14 Februari, saya kembali menemukan makna cinta. Makna yang tidak bisa dijelaskan dengan kata, namun hanya bisa direngkuh dengan menghidupi dan menghayati cinta dengan sepenuhnya.
Cinta ternyata bukan hanya rantai pengikat dua manusia, tapi bahasa universal yang menjadi denyut semua makhluk. Cinta tidak perlu dicari, sebab ia tidak pergi ke mana-mana. Dan ketika kita merasa kita telah menemukannya, cinta telah lama ada di sana. Ia telah lama menemukan kita, dan kini ia menyentuh kita.
Pemahaman itu kini telah mengubah arah hidup saya. Tujuan saya kini tidak lagi menemukan cinta ataupun pasangan hidup, melainkan berbagi kehidupan dan setiap perjalanan bersama cinta.
Dipersembahkan untuk dia, yang telah memperbaharui makna dan menghidupkan kembali cinta