Kamis, 04 Februari 2010

[untitled]

Stase minggu pertama saya di sebuah rumah sakit pendidikan telah membawa banyak pengalaman yang mengubah pandangan saya terhadap kehidupan. Mungkin inilah hal yang paling berharga bagi seorang dokter: kehormatan untuk menimba pelajaran mengenai tubuh manusia dan terlebih lagi, pelajaran mengenai hidup.

Saya rasa hampir setiap koass pernah menyaksikan pasien meninggal di depan matanya. Entah karena sebab apa. Namun, bagi saya, sungguh miris rasanya karena sebagian pasien meninggal bukan karena rendahnya mutu pelayanan dan kemampuan dokter dalam menangani penyakit pasien, namun karena sang pasien tidak mampu ‘membeli’ kehidupannya.

Saya sadar sepenuhnya bahwa dalam hidup pasti ada yang namanya survival of the fittest (setidaknya saya percaya bahwa Darwin benar soal proses seleksi alam ini). Mereka yang mampu bertahan akan terus hidup dan memiliki kesempatan untuk menghasilkan keturunan dengan kualitas wahid, sedangkan mereka yang lemah terpaksa harus mengalah. Namun, meskipun saya bukan seorang sosialis, saya percaya bahwa setiap manusia berhak untuk mendapat pelayanan kesehatan untuk mempertahankan hidupnya. Apa gunanya spesies setingkat manusia membentuk koloni kalau bukan untuk membangun kesejahteraan tiap individu di dalam populasinya? Koloni, atau dalam hal ini negara, bertanggung jawab atas kesehatan dan kehidupan rakyatnya.

Memang, hidup ada di tangan Tuhan. Tapi, apakah menyerah kepada ajal karena tidak mampu membayar juga masuk ke dalam kamus-Nya? Bukankah nabi-nabi datang ke dalam dunia untuk membuat tanda ajaib dan mujizat kesembuhan? Saya percaya Tuhan ingin menjamah hamba-Nya yang sakit dan menderita.

Mungkin itulah faktor utama yang membuat saya sempat merasa tertekan selama stase saya di sebuah rumah sakit pendidikan. Melihat satu-persatu pasien pulang (entah pulang paksa ataupun ‘berpulang’ ke sisi-Nya) tanpa bisa berbuat banyak. Melihat air mata dan teriakan putus asa dari keluarga yang ditinggalkan. Melihat ketidakadilan. Melihat ketidakberdayaan.

Pasien saya, sebut saja Tn. A, mengajarkan saya banyak hal. Tn. A adalah seorang yatim piatu, yang tinggal bersama dengan kakaknya. Usianya baru 25 tahun dan belum menikah, namun sudah mengalami gagal ginjal yang mengharuskannya menjalani dialisis selama beberapa kali seminggu. Pada awalnya, dia sempat menjalani beberapa kali dialisis di sebuah rumah sakit swasta. Namun, karena biaya yang semakin menipis, kakaknya mengajukan permohonan Jamkesmas dan membawa sang adik berobat di rumah sakit tempat saya bertugas.

Di sinilah saya melihat bahwa Jamkesmas, sekalipun merupakan singkatan dari Jaminan Kesehatan Masyarakat, tidak dapat menjadi jaminan mutlak bagi kesehatan masyarakat. Tn. A yang saya temui ternyata membutuhkan hemodialisis cito karena tiba-tiba mengalami sesak malam itu. Sang kakak yang awalnya berpikir untuk menunggu kesempatan hemodialisis gratis lewat Jamkesmas (yang entah kapan baru akan dilaksanakan) terpaksa mengubah keputusannya. Dia rela mengeluarkan biaya hampir satu juta rupiah (entah harus bekerja berapa bulan untuk mendapatkannya) untuk menukarnya dengan nyawa adiknya. Saat itulah saya bertekad, akan berupaya semaksimal mungkin untuk keselamatan Tn. A.

Setelah melakukan informed consent kepada kakak Tn. A, saya mulai mencari informasi mengenai rumah sakit swasta yang bisa melayani hemodialisis cito. Perawat yang berjaga bersama saya terlihat kebingungan dengan keputusan saya namun dengan segera menolong saya menghubungi beberapa rumah sakit yang dikenalnya. Setelah beberapa saat mencari, sebuah rumah sakit swasta ternyata bersedia melakukan hemodialisis cito, namun dibutuhkan waktu sekitar satu jam lagi untuk mendatangkan petugas hemodialisis dan mempersiapkan peralatan. Tidak apa, pikir saya. Menunda satu jam lebih baik daripada satu hari.

Saya menghubungi dokter jaga rumah sakit tersebut untuk berbicara langsung dan mempersiapkan transfer pasien. Dalam waktu satu jam, Tn. A pun berhasil diberangkatkan. Saat itu, saya lega setengah mati. Saya percaya misi saya berhasil. Tn. A kini punya harapan untuk melanjutkan hidupnya.

Lima jam kemudian, sekitar pukul delapan pagi. Tn. A kembali ke rumah sakit tempat saya bertugas. Kondisinya baik. Tidak sesak, dan bisa tidur tenang. Saya sangat bahagia ketika sang kakak kembali dengan wajah sumringah. Namun tak lama, sekitar satu atau dua jam kemudian, perawat berteriak memanggil saya. Tn. A apneu!

Saya tidak percaya apa yang saya dengar. Bukankah dia sudah dihemodialisis? Bukankah saya sudah berusaha dan berhasil? Bukankah sang kakak telah menukar satu juta rupiah dengan hidup adiknya? Bukankah Tuhan sudah mendengar seruan hamba-Nya?

Pagi itu, Tn. A kembali menghadap pencipta-Nya. Sang kakak menangis tak henti-hentinya di sisi sang adik. Saya yang tidak tahan melihat cinta persaudaraan yang begitu besar hanya bisa meminta sang kakak untuk mengikhlaskan kepergian adiknya dan buru-buru meninggalkan ruangan. Sambil mengurus surat kematian, saya terus bertanya di dalam hati, kenapa semua jadi begini.

Sebelum saya meninggalkan bangsal, saya menyempatkan diri menemui kakak Tn. A. Saya mohon maaf karena segala keterbatasan saya. Saya sudah melakukan semua yang saya bisa. Saya benar-benar menyesal, karena di dalam hati saya tahu, pasti ada sesuatu yang luput dari kemampuan saya, yang salah dan terjadi pada Tn. A.

Tanpa saya duga, yang saya terima adalah sebuah senyuman. Senyuman yang meski tenggelam dalam air mata tetap bersinar dengan tulusnya. Senyuman dan ucapan terima kasih, itulah yang saya dapatkan sebagai balasan. Hati yang hancur, itulah yang saya rasakan.

Esoknya, saya merasa benar-benar tidak bersemangat untuk kembali beraktivitas di bangsal. Rasanya dunia saya runtuh.

Tetapi kemudian, saya melihat ke sekeliling dan merenung. Saya bukanlah satu-satunya orang yang pernah merasakan hal seperti ini. Teman-teman saya juga pernah merasakannya. Betapa koass-koass lain, yang sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menolong pasien mereka, juga pernah kehilangan. Betapa perawat-perawat yang bekerja dengan setia harus terus berhadapan dengan pasien meninggal lagi dan lagi.

Saya mulai menemukan harta karun di balik semua ini. To cure sometimes, to relieve often, to comfort always. Dokter tidak mampu menyembuhkan, tapi kehadirannya haruslah menjadi kenyamanan bagi pasiennya. Semua pengalaman ini adalah pelajaran nyata yang membuat saya mengerti dengan hati, bukan hanya lewat teori.

Kini saya sudah bisa tersenyum lagi, menikmati pekerjaan sebagai koass karena pekerjaan ini adalah pekerjaan yang unik. Saya tidak mau menyesali apa yang telah terjadi. Meski saya tidak mampu menyelamatkan hidup Tn. A, saya lega saya telah menyempatkan diri mendengar berbagai keluhan keluarganya, menjadi penghiburan di kala duka. Kini saya bertekad untuk tidak hanya menjadi profesional yang berdiri terbungkus jas putih, tapi terlebih lagi, menjadi manusia sejati.

Saya akan terus bejuang untuk pasien-pasien saya.